PORTAL ASPIRASI– Kota Tapis Berseri kini tengah menjadi pusat perhatian publik setelah muncul desakan besar agar DPRD Kota Bandar Lampung segera mengambil langkah tegas terhadap Wali Kota Eva Dwiana. Isu dugaan pelanggaran hukum yang menyeret nama orang nomor satu di kota ini mencuat setelah terungkapnya penyelenggaraan Sekolah Siger yang diduga belum memiliki izin resmi.
Gelombang sorotan publik semakin kuat setelah berbagai bukti dan pernyataan dari pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menunjukkan adanya potensi pelanggaran serius terhadap sejumlah regulasi penting. Jika benar terbukti, maka kasus ini bisa menjadi sejarah baru di Provinsi Lampung — bahkan berpotensi menggemparkan kancah nasional, seperti peristiwa pemakzulan Aceng Fikri di Garut beberapa tahun lalu.
Pegawai Pelayanan Administrasi Lembaga Pendidikan Masyarakat (LPM) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Danny Waluyo Jati, menjelaskan bahwa pendirian sekolah tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Menurutnya, pendiri atau pemilik yayasan wajib mengajukan surat permohonan resmi kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Ia juga menegaskan bahwa sekolah harus memiliki aset tetap berupa tanah dan bangunan sebelum diizinkan menyusun manajemen pendidikan yang meliputi struktur organisasi, kurikulum, serta tenaga pengajar.
Danny menambahkan, dasar hukum mengenai tata cara pendirian lembaga pendidikan sudah jelas diatur dalam Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023 pasal 1 ayat 1 dan pasal 7. Dengan demikian, sekolah yang belum memenuhi persyaratan tersebut secara hukum belum layak beroperasi.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Sekolah Siger yang disebut-sebut berafiliasi dengan Wali Kota Eva Dwiana sudah melakukan kegiatan belajar mengajar selama lebih dari satu bulan di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Kota Bandar Lampung. Padahal, izin pendirian dan operasional sekolah tersebut belum diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung sebagai pihak yang berwenang dalam pengelolaan pendidikan jenjang menengah.
Temuan ini juga menabrak Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2016 pasal 2 bab 3 yang dengan jelas menyebutkan bahwa kewenangan pendidikan tingkat SMA/SMK berada di bawah Pemerintah Provinsi, bukan Pemerintah Kota. Artinya, segala bentuk kebijakan yang melibatkan pendidikan menengah tanpa izin provinsi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum administratif.
Pernyataan senada disampaikan oleh Thomas Amirico, pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Ketika dikonfirmasi pada 17 September 2025, ia membenarkan bahwa SMA Swasta Siger belum memiliki izin. “Enggak, kan belum berizin. Rencananya baru tahun depan,” ujarnya singkat ketika ditanya apakah sekolah tersebut akan diikutsertakan dalam rapat koordinasi penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran 2026/2027.
Selain melanggar regulasi pendidikan daerah, kasus ini juga menyentuh aspek hukum pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggara satuan pendidikan tanpa izin resmi terancam pidana penjara hingga 10 tahun serta denda miliaran rupiah. Ketentuan ini ditandatangani langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada masa pemerintahannya.
Jika benar Eva Dwiana terlibat atau memberikan dukungan terhadap aktivitas Sekolah Siger yang belum berizin, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sumpah jabatan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas mengamanatkan bahwa kepala daerah wajib menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan secara jujur dan bertanggung jawab.
Banyak pihak kini menilai bahwa indikasi pelanggaran tersebut sudah cukup kuat untuk menjadi dasar DPRD Kota Bandar Lampung mengajukan usulan pemberhentian kepala daerah kepada Mahkamah Agung. Jika Mahkamah mengabulkan, maka Presiden atau Menteri Dalam Negeri memiliki wewenang untuk menetapkan pemberhentian Eva Dwiana dari jabatannya sebagai Wali Kota Bandar Lampung.
Langkah ini tentu bukan perkara mudah. DPRD harus memiliki keberanian politik yang tinggi untuk melawan potensi tekanan dan kepentingan dinasti kekuasaan. Namun, jika lembaga legislatif kota ini berani mengambil sikap, sejarah besar bisa tercipta di Sang Bumi Ruwa Jurai. Bandar Lampung akan tercatat sebagai daerah yang menegakkan supremasi hukum dan integritas pejabat publik tanpa pandang bulu.
Masyarakat kini menunggu dengan penuh perhatian. Apakah DPRD Bandar Lampung akan berani mengambil keputusan bersejarah itu? Ataukah kasus ini hanya akan menjadi isu politik yang menguap seiring waktu? Satu hal pasti, langkah DPRD kali ini akan menjadi penentu arah demokrasi dan pemerintahan bersih di Provinsi Lampung ke depan.***