Kritik Sastra Modern: Walikota Stand Up Comedy dan Inkonsistensi Regulasi di Bandar Lampung

PORTAL ASPIRASI– Dunia sastra kontemporer kembali menghadirkan karya yang mengusik sekaligus menghibur. “Walikota Stand Up Comedy,” tulisan satir karya penyair Bandar Lampung, Muhammad Alfariezie, menampilkan kritik sosial dan politik dalam balutan humor jenaka yang sarat makna. Karya ini bukan sekadar puisi, melainkan cerminan kegelisahan publik terhadap kepemimpinan yang inkonsisten.

Walikota Stand Up Comedy

Di Bandar Lampung, Wali kota
mungkin seperti stand up comedian

Lucu karena sering lupa materi
ketika open mic

Ya.. Walau tidak bertingkah
seekstrem Ebel Cobra
tapi jenaka

Dia sering lupa peraturan
yang dibuat sendiri (perwali), waduh

Wali kota macam apa anda? Apa
lagi materinya jerat korupsi

Lucu namun kasihan anak-anak negeri
karena yang mereka pilih wali kota
stand up comedy yang pula sering lupa
materi

Dan jodohnya kita tertawa dalam untai
inkonsistensi regulasi

2025

Gaya dan Struktur

Muhammad Alfariezie menggunakan metafora stand up comedy sebagai bingkai utama kritiknya. Wali kota digambarkan seperti komedian yang sering “lupa materi” saat tampil, simbol dari pemimpin yang tidak konsisten menjalankan aturan sendiri. Struktur tulisan menyerupai puisi bebas dengan kalimat pendek dan repetitif, menciptakan ritme yang menguatkan efek satir. Pengulangan frasa “lupa materi” menjadi alat retoris untuk menekankan ironi sekaligus lucu yang tajam.

Tema dan Kritik Sosial

Tema utama karya ini adalah inkonsistensi kepemimpinan dan paradoks regulasi. Dengan menyentil “materi korupsi” sebagai bahan lawakan, penulis mengubah hal tragis menjadi humor, memaksa publik ikut tertawa sekaligus menyadari absurditas politik yang terjadi. Anak-anak negeri disebut “kasihan” karena memiliki pemimpin yang lebih sibuk melucu daripada menunaikan amanah. Tawa di sini berfungsi sebagai mekanisme bertahan masyarakat terhadap ketidakadilan dan absurditas birokrasi.

Posisi dalam Tradisi Sastra Indonesia

Satir politik telah lama menjadi tradisi dalam sastra Indonesia. W\.S. Rendra melalui Sajak Pertemuan Mahasiswa dan Goenawan Mohamad lewat Catatan Pinggir menampilkan kritik tajam terhadap kekuasaan. Karya Muhammad Alfariezie berada dalam tradisi yang sama, namun dengan pendekatan lebih ringan, populer, dan jenaka. Alih-alih metafora alam atau tragedi, ia menggunakan budaya populer—stand up comedy—membuatnya dekat dengan pembaca urban, terutama generasi muda yang akrab dengan humor digital.

“Walikota Stand Up Comedy” adalah satir bernilai sastra yang menggabungkan humor, ironi, dan kritik sosial dalam format singkat namun tajam. Kekuatan estetika karya ini terletak pada kemampuannya membalik tragedi menjadi komedi sambil menyodorkan potret kepemimpinan yang buram. Karya ini tidak hanya menawarkan opini politik, tetapi juga memperkuat posisi sastra sebagai medium kritik sosial yang relevan bagi masyarakat kontemporer.***