Makan Bergizi Gratis di Bandar Lampung: Janji Sehat yang Berujung Pemborosan Rp45 Juta Per Hari

PORTAL ASPIRASI— Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai kebijakan unggulan pemerintah kini menjadi sorotan karena realitasnya yang jauh dari kata ideal. Alih-alih meningkatkan gizi anak-anak, program ini justru memunculkan ironi: anggaran puluhan juta rupiah per hari terbuang percuma, sementara anak-anak menerima makanan yang sering tidak layak konsumsi.

Berdasarkan data lapangan, satu dapur MBG di Kecamatan Kemiling menghabiskan sekitar Rp45 juta per hari untuk melayani 3.000 siswa. Namun kenyataannya, di SD Negeri 2 Beringin Raya, Kota Bandar Lampung, potret menyedihkan terlihat jelas. Menu yang disediakan tidak selalu layak makan; sering basi atau tidak memenuhi standar gizi yang dijanjikan.

Seorang wali murid mengungkapkan, “Kemarin anak saya dikasih spageti, tapi basi. Enggak boleh dimakan sama gurunya. Sebagai gantinya, cuma dikasih susu Indomilk.” Pengakuan ini menjadi bukti nyata bahwa dana besar yang digelontorkan pemerintah belum benar-benar sampai kepada penerima manfaat utamanya, yaitu anak-anak.

Seorang guru wali kelas yang memilih anonim pun membenarkan situasi tersebut. “Iya benar, siswa kelas siang hanya dapat susu saja kemarin karena spageti basi jadi dikembalikan,” jelasnya, Rabu, 3 September 2025. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan kualitas makanan, mulai dari persiapan hingga distribusi ke sekolah.

Ironisnya, pemerintah kerap memuji keberhasilan MBG sebagai bukti kepedulian terhadap gizi anak-anak. Namun di lapangan, anak-anak justru dipaksa menelan kenyataan pahit: makanan basi, menu seadanya, dan anggaran publik yang seakan menguap tanpa hasil nyata.

Dampak dari situasi ini bukan hanya soal gizi. Psikologis anak-anak juga bisa terganggu karena merasa kurang diperhatikan, sementara orang tua merasa kecewa dan khawatir akan keamanan dan kualitas makanan yang diterima anak mereka.

Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang sebenarnya menikmati anggaran MBG ini jika bukan anak-anak yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama? Publik kini menuntut transparansi penuh, evaluasi prosedur distribusi, dan perbaikan sistem pengawasan agar setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar sampai ke piring anak-anak sesuai tujuan awal program.

Tanpa langkah tegas, program MBG yang semula dimaksudkan untuk menjadi kebanggaan pemerintah bisa berubah menjadi simbol pemborosan dan ketidakadilan bagi generasi penerus bangsa.***